[Book Review] Happily Ever After

 Judul Novel: Happily Ever After
Penulis: Winna Efendi
Penerbit: Gagasmedia
Editor: Jia Effendie
Penyelaras Aksara: Widyawati Oktavia
Penata Letak: Gita Ramayudha
Desain Sampul: Jeffri Fernando
Cetakan pertama, 2014
Tebal: 358 halaman; 13 x 19 cm
ISBN: 979-780-770-2


Tak ada yang kekal dalam dunia ini. Namun perempuan itu percaya, kenangannya akan tetap hidup, dan ia akan terus melangkah ke depan dengan berani.
Ini adalah kisah tentang orang favoritku di dunia.
Dia yang penuh tawa. Dia yang tangannya sekasar serat kayu, tetapi memiliki sentuhan sehangat sinar matahari. Dia yang merupakan perpaduan aroma sengatan matahari dan embun pagi. Dia yang mengenalkanku pada dongeng-dongeng sebelum tidur setiap malam. Dia yang pada akhirnya membuatku tersadar, tidak semua dongeng berakhir bahagia.
Ini juga kisah aku dengan anak lelaki yang bermain tetris di bawah ranjang. Dia yang ke mana-mana membawa kamera polaroid, menangkap tawa di antara kesedihan yang muram. Dia yang terpaksa melepaskan mimpinya, tetapi masih berani untuk memiliki harapan....
Keduanya menyadarkanku bahwa hidup adalah sebuah hak yang istimewa. Bahwa kita perlu menjalaninya sebaik mungkin meski harapan hampir padam.
Tidak semua dongeng berakhir bahagia. Namun, barangkali kita memang harus cukup berani memilih; bagaimana akhir yang kita ingini. Dan, percaya bahwa akhir bahagia memang ada meskipun tidak seperti yang kita duga.
- - - - - - - - - - - - - - -
Nggak semua dongeng punya akhir yang bahagia. Tapi, bukan berarti cerita itu nggak bagus, atau karakter-karakternya nggak pernah bahagia. Kadang, sebuah cerita yang bagus punya akhir yang sedih. - Hal. 275
Kali ini tentang Lulu−pemilik nama lengkap Lucia Surya, tokoh utama yang kehilangan seorang ayah dan dikhianati oleh kekasih dan sahabat terdekatnya, yang berusaha menghadapi ketakutan-ketakutan, dan berdiri tegar di atas kaki sendiri. Sosok ayah sangat berarti bagi Lulu, baginya ayah tak sekadar ayah, beliau juga sahabat, pacar, juga pendongeng yang hebat. Bunda, seseorang yang sama berartinya seperti ayah bagi Lulu. Namun Lulu lebih merasa dekat dengan ayahnya. Bunda memang selalu terlihat tegar, namun sejatinya itu adalah topeng yang digunakan untuk menutupi kelemahan dan kerapuhannya. Bagi Lulu, tak ada yang bisa menggantikan posisi ayah dan bundanya. 

Tidak banyak kisah manis yang Lulu rasakan di bangku sekolah, malah ia sering kali dibully habis-habisan oleh teman-temannya, dan hanya ditanggapi dengan santai, bukan karena Lulu takut, tetapi karena Lulu tahu, ada hal lain yang lebih penting daripada meladeni teman-temannya yang kekanakan. Karin ialah sahabat yang berubah wujud menjadi musuh bagi Lulu, entah salah Lulu di mana, tapi sikap Karin tiba-tiba berubah saat masuk Sekolah Menengah Atas. Bagi Lulu, Karin bukan lagi teman layaknya saudara seperti dulu, ia menjelma bagai sosok asing yang tidak dikenali Lulu. Kemudian Lulu bertemu dengan Eli di salah satu kamar kosong, yang ternyata adalah salah satu pasien di rumah sakit tempat ayah Lulu dirawat. Keduanya berteman dekat dan kerap bermain juga mengobrol bersama. Berkat Ayah dan Eli, Lulu mengerti arti dari hidup, kehilangan, juga merelakan. Ia adalah remaja yang memiliki cara berpikir lebih dewasa dari teman-teman seusianya. Lulu si anak kesayangan Ayah, yang introvert, susah mengekspresikan diri, bukan murid populer, sering dianggap aneh oleh orang-orang. Ayah, Bunda, Ezra, Karin, Mia, dan Eli, adalah beberapa tokoh yang mewarnai kanvas hidup Lulu. Dari mereka Lulu belajar keberanian, kehilangan, dan penghianatan disaat yang bersamaan.

10/10 buat sampulnya! Alias suka banget. Adem aja gitu lihatnya, ilustrasi rumah Lulu seperti dalam benakku saat baca ceritanya. Alur Happily Ever After terasa cukup lambat di awal dan beberapa bagian dijelaskan secara detail, tapi menurutku inilah yang menggambarkan kedekatan hubungan Lulu dengan ayahnya. Saya selalu lemah dengan cerita bertema keluarga, terlebih yang menyisakan rasa sesak. Hanya saja menurut saya jalan ceritanya mudah ditebak, juga konflik antar tokoh utama; Lulu - Ezra - Karin, kurang greget. Karakter Karin minta dijambak kali ya, alasannya nyakitin Lulu itu lho. Ugh gemes! Kekanakan banget. Kesal juga sih sama Ezra yang nggak tegas jadi cowok. Jauh-jauh deh ya.

Tapi diluar kekurangan itu, Happily Ever After sangat sayang untuk dilewatkan. Saran saya siapkan tisu saat membacanya ya, novel ini sangat mengaduk emosi juga menguras air mata. Dan satu lagi, saya suka sekali dengan deskripsi interior rumah yang dihuni Lulu, ayah Lulu memang arsitek top! Mau sih nanti punya rumah kaya yang ditinggalin keluarga Lulu.

Happily Ever After lebih menonjolkan sisi kekeluargaan, berbeda dengan novel-novel mbak Winna sebelumnya yang nggak jauh-jauh dari 'friendzone'. Novel ini adalah salah satu novel favorit saya dari penulis. Novel ini adalah karya ketiga penulis yang saya baca setelah Refrain dan Remember When. Ya, saya memang tidak terlalu mengikuti jejak anak-anak mbak Winna, tetapi percayalah, saya jatuh cinta pada Happily Ever After.
.
"Dan aku sadar, ungkapan kebahagiaan selama-lamanya adalah omong kosong belaka."


Comments

Popular posts from this blog

[Book Review] A Untuk Amanda